Berdasarkan
data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, tercatat ada sekitar
209.727 institusi pendidikan jenjang SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah
Pertama), dan SMA (Sekolah Menengah Atas) sederajat di Indonesia. Setahun
kemudian, UNICEF (United Nation International Children’s Emergency Fund) mengeluarkan
data statsik yang menunjukkan bahwa 2,5 juta anak Indonesia tidak melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi alias putus sekolah. Tingginya angka
putus sekolah tersebut mengisyaratkan bahwa usaha pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan mendirikan ratusan sekolah masih belum berhasil.
Ada banyak
sekali faktor-faktor yang memungkin terjadinya peningkatan angka putus sekolah
di Indonesia seperti faktor budaya, ekonomi, sosial, atau kesehatan. Namun di
antara keempat faktor tersebut, faktor ekonomi seharusnya tidak menjadi alasan utama.
Mengapa? Karena pemerintah sudah mengeluarkan berbagai program bantuan pendidikan
untuk siswa-siswi kurang mampu di Indonesia, seperti KIP (Kartu Indonesia
Pintar), BSM (Bantuan Siswa Miskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Beasiswa
Unggulan, dan Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi). Jika
tepat sasaran, berbagai program tersebut seharusnya mampu mengurangi angka
putus sekolah di Indonesia. Namun, apabila
peningkatan angka putus sekolah terjadi
karena faktor internal seperti rendahnya minat belajar, kurangnya semangat
belajar, kurangnya kesadaran untuk membaca buku, atau tidak adanya keinginan
untuk menuntut ilmu, maka semua program “buang-buang uang” tersebut akan
sia-sia.
Dalam Agama
Hindu, terdapat sebuah ajaran yang dinamakan dengan Catur Asrama. Catur Asrama merupakan
empat jenjang kehidupan yang harus dilalui setiap orang semasa hidupnya. Salah
satu jenjang kehidupan tersebut adalah Brahmacari atau tahapan hidup untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Brahmacari adalah tahap pertama yang harus dilalui
seseorang sebelum lanjut ke tahap kedua (Grhasta), ketiga (Wanaprasta), dan
keempat (Saniasa). Ajaran tersebut membuat saya sebagai salah satu generasi milenal
berusaha memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada agar bisa mencapai
pendidikan setinggi-tingginya. Saya berpandangan bahwa Brahmacari adalah tahap dasar
dari seluruh perjalanan hidup manusia. Itu karena tahap Brahmacari merupakan tahap
untuk menuntut ilmu yang tidak ada batasnya, tahap untuk membentuk pemikiran yang
holistik, dan tahap untuk menambah teman sebanyak-banyaknya.
Pertama-pertama
saya ingin berkata jujur bahwa setiap kali mendengar kata “ilmu pengetahuan”,
ilustrasi yang muncul di pikiran saya adalah buku Ekonomi Kelas XII SMA. Lucunya,
hal kecil seperti itu sama sekali tidak menggambarkan bagaimana luasnya ilmu
pengetahuan. Ketika kita ingin menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh untuk itu,
kita harus tahu bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah ada habisnya. Alasannya
sederhana, karena manusia akan terus belajar apapun, kapanpun, dan di manapun.
Ilmu
pengetahuan tidak hanya tentang Matematika di sekolah atau tentang praktikum
Kimia di laboratorium fakultas, tapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
membuat kita tahu hal-hal baru. Selama ini manusia cenderung menyempitkan arti
ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Jaman dulu Brahmacari dianggap sebagai
tahapan hidup untuk mempelajari Weda, hanya Weda. Selain itu, pada Atharvaveda
XI. 5.5 yang berbunyi,
“purvo jato brahmo Brahmacari
gharmam vasanas tapasodatisthat,
tasmaj jatam brahmanam brahma jyestham
devasca sarve amrtena sakam.”
Artinya:
Brahmacarin (siswa
pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum brahman (pengetahuan spiritual),
yang melakukan persembahan (yang melaksanakan disiplin sipiritual); dari
pribadinya timbul (mendapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan
tentang Brahman tertinggi dan Yang Bersinar dengan kehidupan pribadi.
secara tidak langsung mengartikan
bahwa Brahmacari merupakan tahapan seseorang untuk mempelajari pengetahuan “spiritual”,
seperti kebijaksanaan suci atau disiplin spiritual. Akan tetapi, seiring dengan
kompleksnya kehidupan, menuntut ilmu tidak hanya bisa difokuskan pada hal-hal
itu saja. Penerapan ajaran agama harus juga diselaraskan dengan perkembangan
jaman sehingga manusia bisa bertahan hidup sesuai masanya.
Menurut
Parisada Hindu Dharma Indonesia, pada tahap Brahmacari usia belajar seseorang
untuk menuntut ilmu dapat ditentukan kurang lebih sampai 23-25 tahun. Lebih
dari usia itu, manusia harus mulai mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang
sudah dipelajari saat berada di tahap Brahmacari. Namun, itu tidak berarti kita
akan berhenti menuntut ilmu selamanya. Sadar tidak sadar, manusia akan terus
belajar. Seorang laki-laki yang belum menikah akan belajar untuk memikat hati
perempuan sedangkan seorang perempuan yang baru saja melahirkan akan belajar menyusui
anaknya. Proses itu akan terus terjadi selama manusia menghadapi situasi baru
di kehidupannya. Jangan katakan bahwa memikat hati perempuan atau belajar menyusui
bayi tidak termasuk proses menuntut ilmu, karena itu sama saja kalau kita telah
menyempitkan arti ilmu pengetahuan yang tanpa batas.
Menuntut
ilmu sebanyak-banyaknya akan membuat manusia mulai berpikir logis. Pada masa
ini, tahap Brahmacari akan menumbuhkan pola pikir yang holistik terhadap setiap
umat manusia. Tujuan menuntut ilmu tidak lain adalah untuk mengetahui
kebenaran. Membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu terlihat
sederhana, tapi tidak sedikit dari kita yang salah tafsir tentang kebenaran. Berkata
“Saya benar” hanya menggunakan asumsi pribadi adalah sebuah kekeliruan. Kebenaran
sesungguhnya adalah kebenaran yang universal. Artinya, setiap orang mengakui
hal yang sama bahwa realitas itu adalah benar. Inilah yang dinamakan dengan berpikir
holistik, bepikir secara menyeluruh sebelum menilai sesuatu.
Pada tanggal
24 November 2017 lalu, terjadi serangan bersenjata dan bom di Masjid Al-Rawdah,
Sinau Utara, Mesir. Kejadian tersebut menewaskan sebanyak 235 orang dan mengakibatkan
120 orang lainnya luka-luka. Saya simpulkan bahwa pelaku pada kejadian
mematikan itu adalah sekumpulan orang-orang pintar. Belajar dengan baik dan
menciptakan bom peledak yang dahsyat. Tapi sayangnya, kepintaran tersebut tidak
cukup untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Inilah mengapa proses
Brahmacari harus benar-benar dihayati dan tidak dipersempit cakupannya. Jika
hanya belajar untuk mengetahui sesuatu namun tidak mempelajari apa tujuannya,
maka itu bukan tahap Brahmacari. Tahap Brahmacari adalah tahap untuk belajar, mengetahui
kebenaran sehingga menghasilkan kabaikan. Menilai suatu kebenaran harus dengan pemikiran
yang holistik karena benar untuk diri sendiri belum tentu benar untuk orang
lain.
Pemikiran
holistik akan membuat manusia menjadi lebih rasional dan terbuka. Menerima
kritik dan tidak ingin menang sendiri. Bagi saya, hal itu akan sangat
bermanfaat karena pada tahap Brahmacari, manusia juga akan memasuki jenjang
untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Mencari teman sebanyak-banyaknya sangat
penting dilakukan karena dalam Catur Asrama, jenjang kehidupan setelah Brahmacari
adalah Grhasta atau tahap untuk berumah tangga. Dalam masa berumah tangga,
kewajiban lain yang juga harus dilaksanakan adalah bermasyarakat selayaknya
mahluk sosial. Oleh karena itu, selama melakukan Brahmacari, seseorang juga harus
mulai belajar untuk bergaul, berperilaku baik terhadap sesama, dan tidak melanggar
norma-norma sosial di masyarakat. Menambah teman sejak memasuki tahap Brahmacari
penting dilakukan sehingga pada tahap Grhasta, masyarakat bisa menerima
keberadaan kita.
Selama
menjalani masa Brahmacari, sebagian besar ilmu pengetahuan yang kita pelajari
hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri. Sedangkan sebagai mahluk sosial, kita
harus rela berbagi ilmu dan mengabdi kepada masyarakat. Ketika kita memberikan
sumbangsih atas ilmu pengetahuan yang kita miliki (tidak hanya pelajaran di
sekolah, tapi juga keterampilan), maka masyarakat juga akan berperilaku
sebaliknya. Kita akan memiliki relasi yang luas (networking) dan itu merupakan aspek terpenting di kehidupan
materialistis seperti saat ini. Semua hal tersebut tidak akan pernah tercapai
apabila kita hanya berpikir untuk diri kita sendiri dan tidak “mulai” mencari
teman sebanyak-banyaknya pada tahap Brahmacari. Oleh karena itu, secara pribadi
saya menganggap bahwa Brahmacari adalah tahapan yang tepat untuk belajar memulai
suatu hubungan kekerabatan dengan orang-orang di sekitar kita.
Berdasarkan
hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa perjalanan hidup seseorang akan sangat
dipengaruhi oleh seberapa baik ia menjalani tahap Brahmacari-nya. Tahap untuk
menuntut ilmu yang sangat tak terbatas, tahap kehidupan untuk terus berpikir holistik,
dan tahap kehidupan untuk mencari teman sebanyak-banyaknya adalah tiga hal yang
membuat Brahmacari sangat signifikan dampaknya untuk kehidupan. Jika setiap
jiwa manusia bisa melakukan tahap Brahmacari dengan sempurna, maka kehidupannya
akan bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk seluruh
umat manusia yang ada sekitarnya. Itulah mengapa saya memandang bahwa tahap Brahmacari
adalah tonggak dasar perjalan hidup manusia di dunia.
No comments:
Post a Comment